Kematian paman gober ditunggu-tunggu semua bebek. Tidak ada lagi yang
bisa dilakukan selain menunggu-nunggu saat itu. Setiap kali penduduk
Kota Bebek membuka koran, yang mereka ingin ketahui hanya satu hal:
apakah hari ini Paman Gober sudah mati. Paman Gober memang terlalu
kuat, terlalu licin, dan bertambah kaya setiap hari. Gudang-gudang
uangnya berderet dan semuanya penuh. Setiap hari Paman Gober mandi
uang di sana , segera setelah menghitung jumlah terakhir kekayaannya,
yang tak pernah berhenti bertambah.
Begitu kayanya Paman Gober, sehingga ia tak bisa hafal lagi pabrik apa
saja yang dimilikinya. Bila terlihat pabrik di depan matanya, ia
hampir selalu berkata, “Oh, aku lupa, ternyata aku punya pabrik
sepatu.” Kejadian semacam ini terulang di muka pabrik sandal, pabrik
rokok, pabrik kapal, pabrik arloji, maupun pabrik tahu-tempe. Boleh
dibilang, hampir tidak ada pabrik yang tidak dimiliki Paman Gober.
Ibarat kata, uang dicetak hanya untuk mengalir ke gudang uang Paman
Gober.
Meskipun kaya raya, anggota klub milyarder no.1, Paman Gober adalah
bebek yang sangat pelit. Bahkan kepada keluarganya, Donal bebek, ia
tidak pernah mewmberi bantuan, meski Donal telah bekerja sangat keras.
Malah Donal ini, beserta keponakan-keponakan nya Kwak, Kwik, dan Kwek,
hamper selalu diperas tenaganya, dicuri gagasannya, dan hasilnya tidak
pernah dibagi. Cendekiawan jenius Kota Bebek, Lang Ling Lung, yang
dimuka rumahnya tertera papan nama Penemu, Bisa Ditunggu, pun hamper
selalu diakalinya.
Sudah berkali-kali Gerombolan Siberat, tiga serangkai kelas kakap,
menggarap gudang uang Paman Gober, namun keberuntungan selalu berada
di pihak Paman Gober. Paman Gober tak terkalahkan, bahkan oleh Mimi
Hitam, tukang tenung yang suka terbang naik sapu. Sudah beberapa kali
Mimi Hitam berhasil merebut Keping Keberuntungan, jimat Paman Gober,
namun keping uang logam kumuh itu selalu berhasil direbut kembali.
Tidak bisa dipungkiri, Paman Gober memang pekerja keras. Masa mudanya
habis di lorong-lorong gua emas. Sebuah gunung emas yang ditemukannya
menjadi modal penting yang telah melambungkannya sebagai taipan tak
tersaingi dari Kota Bebek.
Suatu hal yang menjadi keprihatinan Nenek Bebek, sesepuh Kota Bebek
yang mengasingkan ke sebuah pertanian jauh di luar kota , adalah
kenyataan bahwa Paman Gober dicintai kanak-kanak sedunia. Paman Gober
menjadi legenda yang disukai. Paman Gober begitu rakus. Paman Gober
begitu pelit. Tapi ia tidak dibenci. Setiap kali ada orang mengecam,
menyaingi, pokoknya mengancam reputasi Paman Gober sebagai orang kaya,
justru orang itu tidak mendapat simpati. Paman Gober bisa menangis
tersedu-sedu meski hanya kehilangan uang satu sen. Ia sama sekali
bukan tokoh teladan, tapi mengapa ia bisa begitu dicintai? “Dunia
sudah jungkir balik,” ujar Nenek Bebek kepada Gus Angsa, yang meski
suka makan banyak, sangat malas bekerja. Namun Gus Angsa sudah
tertidur sembari bermimpi makan roti apel.
“Suatu hari dia pasti mati,” ujar Kwik.
“Memang pasti, tapi kapan?” Kwak menyahut.
“Kwek!” Hanya itulah yang bisa dikatakan Kwek.
Dasar bebek.
Begitulah, setiap hari, Lubas, anjing dirumah Donal, membawa Koran itu
dari depan pintu ke ruang tengah.
“Belum mati juga!”
Donal segera membuang lagi Koran itu dengan kesal. Karena memang tiada
lagi berita yang bisa dibaca di Koran. Banyak kabar, tapi bukan
berita. Banyak kalimat, tapi bukan informasi. Banyak huruf, tapi bukan
pengetahuan. Koran-koran telah menjadi kertas, bukan media.
Semua bebek memang menunggu kematian Pman Gober. Itulah kabar terbaik
yang mereka harapkan terbaca. Paman Gober sendiri sebenarnya sudah
siap untuk mati. Maklumlah, sebagai generasi tua di Kota Bebek,
umurnya cukup uzur. Untuk kuburannya sendiri, ia telah membeli sebuah
bukit, dan membangun mausoleum di tempat itu. Jadi, bukannya Paman
Gober tidak mau mati. Ia sudah siap untuk mati.
“Mestinya, bebek seumur saya ini, biasanya ya sudah tahu diri, siap
masuk ke liang kubur. Makanya, ketika saya diminta menjadi Ketua
Perkumpulan Unggas Kaya, saya merasakan kegetiran dalam hati saya,
sampai beberapa lama saya bisa bertahan? Apa tidak ada bebek lain yang
mampu menjadi ketua?”
Kalimat semacam itu masuk ke dalam buku otobiografinya, Pergulatan
Batin Gober Bebek, yang menjadi bacaan wajib bebek-bebek yang ingin
sukses. Hampir setiap bab dalam buku itu mangisahkan bagaimana Paman
Gober memburu kekayaan. Mulai dari harta karun bajak laut, pulau emas,
sampai sayuran yang membuat bebek-bebek giat bekerja, meski tidak
diberi upah tambahan. Bab terakhir diberi judul Sampai Kapan Saya
Berkuasa?. Memang, Paman Gober adalah ketua terlama Perkumpulan Unggas
Kaya. Entah kenapa, ia selalu terpilih kembali, meski pemilihan selalu
berlangsung seolah-olah demokratis. Begitu seringnya ia terpilih,
sampai-sampai seperti tidak ada calon yang lain lagi.
“Terlalu, masak tidak ada bebek lain?”
Paman Gober selalu berbasa-basi. Namun, entah kenapa, kini bebek-bebek
menjadi takut. Paman Gober, memang, terlalu berkuasa dan terlalu kaya.
Setiap hari yang dilakukannya adalah mandi uang. Ketika Donal Bebek
bertanya dengan kritis, mengapa Paman Gober tidak pernah peduli kepada
tetangga, bantuan keuangannya kepada Donal segera dihentikan.
“Kamu bebek tidak tahu diri, sudah dibantu, masih meleter pula.”
“Apakah saya tidak punya hak bicara?”
“Bisa, tapi jangan asal meleter, nanti kamu aku sembelih.”
“Aduh, kejam sekali, menyembelih bebek hanya dilakukan manusia.”
“Ah, siapa bilang bebek tidak kalah kejam dari manusia.”
“Lho, manusia makan bebek, apakah bebek makan manusia?”
“Yang jelas manusia bisa makan manusia.”
“Tapi Paman mau menyembelih sesame bebek, apakah sudah mau meniru
sifat manusia?”
Paman Gober mempunyai banyak musuh, namun Paman Gober suka memelihara
musuh-musuh yang tidak pernah bisa mengalahkannya itu, justru untuk
menunjukkan kebesarannya. Paman Gober sering muncul di televisi. Kalau
Paman Gober sudah bicara, kamera tidak berani putus, meskipun
kalimat-kalimatnya membuat bebek tertidur. Paman Gober selalu
menganjurkan bebek bekerja keras, seperti dirinya, dan Paman Gober
juga semakin sering menceritakan ulang jasa-jasanya kepada warga Kota
Bebek.
“Coba, kalau aku tidak membangun jalan, air mancur, dan monumen, apa
jadinya Kota Bebek?”
Tidak ada yang berani melawan. Tidak ada yang berani bicara.
“Paman Gober,” kata Donal suatu hari, kenapa Paman tidak mengundurkan
diri saja, pergi ke pertanian seperti Nenek, menyepi, dan merenungkan
arti hidup? Sudah waktunya Paman tidak terlibat lagi dengan urusan
duniawi.”
“Lho, aku mau saja Donal. Aku mau hidup jauh dari Kota Bebek ini.
Memancing, main golf, makan sayur asem, dan membaca butir-butir
falsafah hidup bangsa bebek. Tapi, apa mungkin aku menolak untuk
dicalonkan? Apa mungkin aku menolak kehormatan yang segenap unggas?
Terus terang, sebenarnya sih aku lebih suka mengurus peternakan.”
Maka hari-hari pun berlalu tanpa penggantian pimpinan. Demokrasi
berjalan, tapi tidak memikirkan pimpinan, karena memang hanya ada satu
pemimpin. Segenap pengurus bisa dipilih berganti-ganti, namun
kedudukan Paman Gober tidak pernah dipertanyakan. Para pelajar seperti
Kwik, Kwek, dan Kwak menjadi bingung bila membandingkannya dengan
sejarah kepemimpinan kota lain. Kota Bebek seolah-olah memiliki
pemimpin abadi. Generasi muda yang lahir setelah Paman Gober berkuasa
bahkan sudah tidak mengerti lagi, apakah pemimpin itu memang bisa
diganti. Mereka pikir keabadian Paman Gober sudah semestinya.
Dan itulah celakanya kanak-kanak mencintai Paman Gober. Riwayat hidup
Paman Gober dibikin komik dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa.
Bebek terkaya yang sangat pelit dan rakus ini menjadi teladan baru.
Nenek Bebek tidak habis pikir, mengapa pendidikan, yang mestinya
semakin canggih, membolehkan budi pekerti seperti itu. Generasi muda
ingin meniru Paman Gober, menjadi bebek yang sekaya-kayanya, kalau
bisa paling kaya di dunia.
“Paling kaya di dunia?” Kwak bertanya.
“Iya, paling kaya di dunia,” jawab Nenek Bebek.
“Apakah itu hakikat hidup bebek?”
“Bukan, itu hakikat hidup Paman Gober.”
Sementara itu, nun di gudang uangnya yang sunyi, Paman Gober masih
terus menghitung uangnya dari sen ke sen, tidak ditemani siapa-siapa.
Matanya telah rabun. Bulunya sudah rontok. Sebetulnya ia sudah pikun,
tapi ia bagai tak tergantikan.
Semua bebek menunggu kematian Paman Gober. Tiada lagi yang bisa
dilakukan selain menunggu-nunggu saat itu. Setiap kali penduduk Kota
Bebek membuka koran, yang ingin mereka ketahui hanya satu: apakah hari
ini Paman Gober sudah mati. Setiap pagi mereka berharap akan membaca
berita Kematian Paman Gober, di halaman pertama.