Al-Chemist Ungu

tentang Pendidikan dan Kimia

Tampilkan postingan dengan label Environmental Chemistry. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Environmental Chemistry. Tampilkan semua postingan

KEJU



Keju adalah salah satu produk susu yang paling penting dan banyak dikonsumsi. Diperkirakan ada lebih dari 3000 jenis keju di seluruh dunia, yang berasal dari Perancis, Jerman, Belanda, Denmark, Swiss, Italia, Inggris, Amerika Serikat, dan negara-negara Eropa lain.

YOGHURT



Yoghurt atau yogurt, adalah susu yang dibuat melalui fermentasi bakteri. Yoghurt dapat dibuat dari susu apa saja, termasuk susu kacang kedelai. Tetapi produksi modern saat ini didominasi susu sapi. Fermentasi gula susu (laktosa) menghasilkan asam laktat, yang berperan dalam protein susu untuk menghasilkan tekstur seperti gel dan bau yang unik pada yoghurt. Yoghurt sering dijual apa adanya, bagaimanapun juga rasa buah, vanilla atau coklat juga popular.

Sampah Medis dan Pengelolaannya

 Menurut Depkes Republik Indonesia berbagai jenis buangan yang dihasilkan rumah sakit dan unit-unit pelayanan kesehatan yang mana dapat membahayakan dan menimbulkan gangguan kesehataan bagi pengunjung , masyarakat terutama petugas yang menanganinya disebut sebagai limbah klinis.
Limbah klinis berasal dari pelayanan medis, perawatan, gigi, veterinary, farmasi atau yang sejenisnya serta limbah ayng dihasilkan rumah sakit pada saat dilakukan perawatan, pengobatan atau penelitian. Berdasarkan potensi bahaya yang ditimbulkannya limbah klinis dapat digolongkan dalam limbah benda tajam, infeksius, jaringan tubuh, citotoksik, farmasi, kimia, radio aktif dan limbah plastic.

Material Organik Alamiah Terlarut Memainkan Peranan Penting dalam Siklus Merkuri di Lingkungan Akuatik


Alam memiliki suatu hubungan reaksi yang sulit dijelaskan dengan merkuri atau raksa. Tetapi para peneliti dari Department of Energy’s Oak Ridge National Laboratory telah berhasil membuat suatu penemuan yang dapat menjelaskan hubungan yang aneh ini.
Ketika para ilmuwan telah mengetahui bahwa beberapa mikroba di lingkungan perairan dapat menghasilkan metilmerkuri, suatu bentuk senyawa organomerkuri yang lebih beracun dibanding merkuri itu sendiri yang terakumulasi dalam tubuh ikan, mereka juga mengetahui bahwa alam dan beberapa spesies bakteri lainnya dapat mengubah metilmerkuri ke dalam bentuk yang kurang toksik. Hal yang kurang mereka pahami sepenuhnya adalah bahwa mekanisme transformasi ini terjadi pada keadaan lingkungan yang anoksik atau kurang oksigen.

LAVA TOUR --Kali Putih, red

Berikut ini adalah hasil jeprat-jepret saya di 'on the spot of KALI PUTIHpada hari Jum'at tanggal 7 Januari 2011. Singkat cerita, saya dan teman saya sudah merencanakan untuk mengunjungi dan melihat bagaimana kondisi kali Putih yang pasca meletusnya Gunung Merapi, menjadi salah satu tempat aliran dari lava atau lahar dingin, berupa material-material pasir. Beberapa hari yang lalu, sempat juga pasir mencapai jalan raya, hingga ketinggian hampir 3 meter. hohoho... Dan hal ini yang menyebabkan Jalan Magelang sempat ditutup, beberapa jam. Dan inilah hasilnya...
 Bisa kita lihat, di pinggir-pinggir jalan terdapat tumpukan pasir, kita bayangkan saja, seberapa besar pasir yang menum,puk di badan jalan sehingga jalan harus ditutup.
 Area ini tadinya adalah sungai kecil dan juga kebun milik penduduk, namun sekarang telah tertutup oleh lapisan pasir

 area toko yang diterjang lahar dinghin pada banjir lahar dingin episode pertama..

 tampak rumah yang hancur..


tekstur tanah berpasir-kerikil


Dan bahkan, kini area yang lebih menyerupai hamparan pasir ini, terlihat sebagai area 'obyek wisata'. Bagaimana tidak, terlihat banyak sekali pengunjungnya, yang sebagian hampir seperti saya yang asyik 'jeprat-jepret'  sana-sini. Rupanya penduduk sekitar memang sangat kreatif, ada yang berjualan lotes, es krim, dan juga minuman lainnya.
foto orang berbaju kuning ini, percaya atau tidak percaya adalah seorang wanita, ibu-ibu berumuran 50-an tahun..
keep fight!!!











Foto-foto ini saya ambil eksklusive dari tempat kejadian (hha^^..)
 Berdecak kagum pada Sang Pencipta 'Subhanalloh'..

Kali Putih, banjir lagi

Minggu, 9 Januari, hujan sangat deras melanda hampir seluruh area di Magelang-Jogja pada sore harinya. Ketika itu saya, berada di Jogjaa bersama seseorang sedang mencari kado. Karena terlalu asyk, membuat kami terlalu kesorean untuk pulang ke Magelang, tapi kami tetap memutuskan untuk pulang. Hujan itu begitu deras, sampai-sampai sepanjang jalan Magelang terlihat banjir.
Bahkan saya juga dapat sms bahwa Jalan Magelang di daerah Salam sudah ditutup dikarenakan Kali Putih meluap lagi, bahkan isunya 3 kali luapan hari kemarin. Kami malah jadi penasaran dan pulang lewat jalan tersebut, hingga di Turi, sebelum Tugu Ireng, jalan dialihkan melewati Wates. Kendaraan-kendaraan dengan plat nomor AA,AB,H,G R dan masih banyak lagi, memenugi jalan sempit itu, begitu juga kendaraan yang berpapasan dari arah berlawanan. Hujan deras membuat pandangan mata juga kurang jeli dan jalanan licin. Ditambah lagi, penerangan jalan yang sangat minim sekali.
Melewati Kalibawang, dan beberapa sungai yang merupakan sungai lanjutan dari Kali Putih, terdengar aliran deras dan bau pasir. Melanjutkan perjalanan sampai daerah Srowol, tepat jam 21.00 malam. dan ternyata jembatan Srowol tidak bisa dilewati karena jembatan baru  itu sudah ambruk lagi. Mulai panik lagi, karena jembatan Pabelan juga ditutup untuk waktu yang belum ditentukan, sampai hujan dan banjir mereda. Kamipun dialihkan untuk melewati Jagalan, sampai di sana terjadi kemacetan yang sangat parah karena ada truk yang mblesek, akhirnya diputuskan lagi untuk menunngu kepastian jembatan Pabelan, yang ternyata memang baru saja dibuka pukul 22.00 malam.


Keesokan paginya, enin 10 Januari jembatan Srowol juga belum bisa dilewati, karena keadaannya seperti pada foto di samping. Perlu diketahui, jembatan ini sebenarnya juga belum total jadi, hanya saja memang sudah bisa dilewati sebelumnya.. Dan kini, kembali tidak bisa dilewati. Sungai ini merupakan aliran sungai Pabelan. Pada banjir lahar yang pertama dulu, jembatan ini sudah pernah hancur...










Akibatnya, karena jalan akses menuju Jogja pagi ini rata-rata ditutup dan dialihkan ke Kulonprogo, membuat saya terlambat kuliah Manajemen Laboratorium hari, dan terpaksa membolos, karena perjalanan Magelang-Jogja yang biasa kutempuh kurang dari 45menit, memecahkan rekor menjadi 2,5 jam. Ditambah lagi acara "kesasar"

Pemanfaatan Jamur Dalam Proses Produksi Ramah Lingkungan



 

Para peneliti di Universitas Greifswald di Jerman meneliti pemanfaatan jamur untuk memproduksi enzym yang dapat digunakan di industri kimia untuk proses yang lebih ramah lingkungan.

 
Jamur secara alamiah adalah pemakan bangkai dalam lingkungan mikroskopis. Namun jamur tidak hanya dapat menguraikan unsur, melainkan juga dapat memproduksi unsur baru. Habitat jamur adalah lingkungan dimana terdapat organisme yang mati. Sejak lama manusia memanfaatkan jamur untuk kebutuhan sehari-hari, sebagai bahan obat dan juga sebagai makanan yang lezat. Juga sifat jamur yang tidak hanya melulu menguraikan organisme mati, tapi juga menciptakan senyawa baru, sudah dikenal sejak lama.

Kini para peneliti bioteknologi di Universitas Greifswald di negara bagian Jerman Mecklenburg-Vorpommern, menemukan bahwa protein pada jamur kayu yang disebut laccase juga melakukan reaksi kimia yang amat menarik. Ketika protein ini melakukan proses penguraian organisme mati, misalnya batang kayu, terbentuk senyawa kimia baru. Laccase juga dapat bereaksi dengan banyak unsur lainnya, dan membentuk ikatan kimia baru. Protein ini melakukan proses kimia yang sama seperti proses yang saat ini lazim dilakukan di pabrik-pabrik kimia.

Gurubesar mikrobiologi terapan di Institut Mikrobiologi Universitas Greifswald, prof. Frieder Schauer menjelaskan : “Enzym ini amat menarik, karena tidak hanya dapat menguraikan melainkan juga bisa melakukan sintesa. Enzym ini dapat mengikat bermacam molekul menjadi molekul lebih besar, dan dengan itu industri kimia dapat memanfaatkannya.

Dewasa ini, proses sintesa molekul kimia mikroskopis, biasanya dilakukan dengan membubuhkan senyawa yang mencemari lingkungan, misalnya logam berat, cairan pengencer serta senyawa yang mengandung ikatan khlor. Proses kimia semacam ini menimbulkan dampak lingkungan, karena memproduksi sampah dan produk sampingan yang beracun dan berbahaya. Dengan memanfaatkan enzym laccase yang berasal dari jamur, para pakar bio kimia hendak mengurangi pembentukan senyawa serta emisi yang mencemari lingkungan tsb.

Para peneliti di Universitas Greifswald terus melakukan ujicoba penggunaan senyawa yang lebih bersahabat dengan lingkungan dalam proses produksi industrial. Bekerjasama dengan perusahaan swasta Brain AG dari Jerman, firma Sigma-Aldrich dari Swiss serta universitas Rostock dilakukan penelitian lebih lanjut. Pada proyek yang disebut perlindungan lingkungan yang terintegrasi dalam proses produksi, dalam waktu dua tahun hingga tahun 2009, dilakukan penelitian pemanfaatan enzym jamur untuk proses produksi yang lebih ramah lingkungan.

Prof. Frieder Schauer mengatakan, enzym yang diperoleh dari jamur, memiliki banyak keunggulan dibanding enzym lainnya yang dewasa ini digunakan dalam proses produksi. Enzym ini lebih stabil terhadap pengaruh dari luar dan tidak berubah sifat walaupun disimpan berbulan-bulan pada suhu ruangan. Keunggulan paling menentukan adalah, enzym ini dapat bereaksi dengan ribuan unsur lainnya. Dengan itu terbuka kemungkinan yang amat luas. Prof. Frieder Schauer menjelaskan lebih lanjut : “Dengan begitu ribuan unsur dapat dilibatkan dalam reaksi, dan banyak sekali unsur kimia yang dapat disintesa. Dapat berupa antibiotika, zytostatika atau juga kimia mikroskopis seperti yang saat ini sedang kami buat.“

Produknya digunakan dalam kehidupan sehari –hari, seperti sabun cuci, obat-obatan, lem atau juga bahan pewarna. Dalam proses produksi konvesional, unsurnya harus benar-benar bersih. Dan dalam proses sintesanya memerlukan unsur kimia teknis yang kadang-kadang amat beracun atau berbahaya bagi manusia, misalnya soda api atau asam belerang. Proses produksi dengan memanfaatkan unsur beracun dan berbahaya itu sudah berlangsung selama puluhan tahun. Kini dengan penemuan terbaru berupa enzym dari jamur, diharapkan prosesnya menjadi lebih bersahabat dengan lingkungan. Karena sintesa yang terjadi adalah reaksi yang terjadi dalam persyaratan alami.
Enzym dari jamur kayu laccase memang bukan protein segala bisa. Tapi juga memiliki potensi besar untuk industri. Namun sejauh ini pemanfaatannya secara teknis belum terlalu banyak. Penyebabnya, penelitian ilmiah bagi pemanfaatannya juga masih terbatas. Tim peneliti dari Universitas Greifswald sekarang ini sudah merupakan instansi pertama yang akan mempatenkan proses produksi kimia berbasis jamur.  

Rinciannya sejauh ini belum diumumkan, tapi secara garis besar Prof. Frieder Schauer menggambarkan : “Dalam sintesa kimia, biasanya digunakan bahan pengencer dalam jumlah besar, yang dapat mencemari lingkungan. Digunakan senyawa yang mengandung ikatan khlor atau ikatan unsur halogen, juga digunakan logam berat sebagai katalisator. Sejauh ini kebanyakan reaksi kimia menimbulkan beban pencemaran lingkungan. Kami mengharapkan, dengan reaksi laccase dapat memecahkan masalahnya. Kami hendak memantapkan sintesa yang berlangsung di bawah persyaratan yang ramah lingkungan.
Proses produksi kimia dengan metode tradisional, memang sejauh ini kebanyakan lebih murah ketimbang proses bioteknologi dengan bantuan enzym laccase. Akan tetapi dalam jangka panjang, penggunaan unsur kimia beracun dan berbahaya akan semakin mahal, seiring dengan meningkatnya ongkos beban lingkungan. Artinya, di masa depan teknologi ramah lingkungan akan menjadi keharusan bagi proses produksi industrial. Dan proses berbasis bio-teknologi akan menjadi pilihan utama.  

Dalam penelitian di Universitas Greifswald di negara bagian Mecklenburg-Vorpommern para pakar mikro-biologi memanfaatkan koleksi jamur yang mereka miliki, yang saat ini berjumlah lebih dari 4.500 jenis. Sejak tahun 70-an, para pakar biologi di Greifswald sudah memandang jauh ke depan, dengan meneliti unsur aktif atau potensi teknik jamur. Budidaya berbagai jenis jamur juga terus dilakukan.
Penelitian jamur untuk pemanfaatnnya dalam kehidupan sehari-hari maupun industri diakui masih berada pada tahapan awal. Namun potensinya diketahui amat luas. Spektrumnya mulai dari pemanfaatannya untuk menguraikan unsur beracun dan berbahaya, pembuatan obat hingga produksi keperluan rumah tangga. Para peneliti mikrobiologi semakin menyadari, di masa depan peranan bioteknologi akan semakin besar, untuk melindungi lingkungan hidup yang amat ringkih dan mudah tercemar.


SAVE OUR WATER

Minggu ini, bisa dibilang kuliah terakhir 'Environmental Chemistry', ini berart, 2minggu lagi UAS.. Dan berakhir juga kuliah yang menyenangkan bersama Pak Projo. di satu pihak aku tak senang, di lain pihak aku bersyukur. Kenapa sampai tak senang? Entah kenapa kuliahku bersama pak Projo kali ini, berbeda dengan kuliah sebelumnya, di Kimia Dasar 1 dan basic Chemistry 2. Di kuliah Environmental Chemistry ini, pak projo bener2 bisa membuat kami (mungkin hanya saya yang sangat tertarik) interesting dengan yang beliau ajarkan, karena benar2 kami diajak ke dunia nyata dan apa yang sedang kami hadapi sekarang ini --permasalahan lingkungan, red
Tapi, di sisi lain saya senang dan bersyukur, karena akhirnya saya mengakhiri kuliah saya bersama teman2 (lebih tepatnya kakak tingkat) yang hampir semua tidak saya kenal-- benar2 seperti terasingkan. Walaupun saya yakin, Mr. Projo knows who is me...
Ya,,,dan inilah persembahan saya untuk kuliah ini, sebuah tugas yang penuh dengan kejujuran, karena saya mencintai kimia, dan saya cinta lingkungan...
IDENTIFIKASI PENGGUNAAN AIR
UNTUK KEPERLUAN RUMAH TANGGA
Air merupakan salah satu senyawa kimia yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, yang fungsinya tentu saja tidak bisa digantikan oleh senyawa lainnya, karena air mempunyai sifat-sifat yang khas. Hampir seluruh kegiatan manusia membutuhkan air, seperti makan, minum, mencuci, membersihkan diri atau mandi, membersihkan tempat tinggal, dan masih banyak aktivitas lain yang menggunakan air. Semua itu tak lepas dari kebutuhan akan air bersih yang mulai dari sekarang. Mengalami kelangkaan.
Permukaan bumi kita, 70%-nya adalah berupa air, akan tetapi ini hanyalah jumlah teoritis, karena pada faktanya hanya sebagian kecil saja yang dapat benar-benar dimanfaatkan yaitu kira-kira 0,003% Dari 70% keseluruhan jumlah air, 97%-nya ada dalam samudra atau laut yang kadar garamnya terlalu tinggi sehingga belum bisa digunakan untuk berbagai keperluan. Kemudian 3% sisanya, 87% tersimpan di lapisan kutub yang sangat dalam di bawah tanah. Jadi bisa kita bayangkan berapa persentase air yang benar-benar bisa digunakan, untuk masyarakat di seluruh bagian bumi ini. Sedangkan air yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan adalah air bersih, yaitu sumber daya berbasis air yang bermutu baik dan bisa dimanfaatkan manusia untuk dikonsumsi atau melakukan aktivitas sehari-hari, seperti contohnya sanitasi.
Untuk konsumsi air minum menurut departemen kesehatan, syarat air minum yang baik adalah tidak berasa, tidak berbau, tidak berwarna, tidak tercemar bakteri dan tidak mengandung logam berat. Senada dengan hal ini, ancaman krisis air bersih di berbagai belahan dunia, baik negara maju maupun negara berkembang, dan Indonesia adalah salah satu negara yang tak luput dari ancaman tersebut. Hanya saja karena ketersediaan sumber daya alam itu masih cukup tinggi dan didukung dengan keberadaan siklus musim yang baik, serta sumber air yang melimpah (air tanah dan air permukaan) menyebabkan fenomena krisis air di negeri ini kurang disadari. Padahal faktanya, krisis air hampir terjadi di semua daerah, yang dapat dibuktikan saat berlangsung musim kemarau. Penyebabnya adalah karena pertambahan populasi, perubahan iklim, konversi hutan di hulu, perubahan areal vegetasi menjadi kepentingan bisnis berskala besar dan infrastruktur, serta gagalnya rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS).
Derajat kelangkaan akan makin meningkat seiring dengan pertambahan penduduk yang cepat disertai pola hidup yang menuntut penggunaan air yang relatif banyak tentunya akan menmbah tekanan terhadap kuantitas air. Pemanfaatan air untuk berbagai penggunaan cenderung melebihi kapasitas air yang tersedia dan belum terintegrasi dengan upaya konservasi air, yang malah diabaikan para pengguna. Tekanan terhadap sumber daya air juga mengubah kualitas air menjadi makin buruk salah satu penyebabnya adalah pencemaran air permukaan dan air bawah permukaan seperti terjadinya eutrofikasi danau, intrusi air laut (menyebabkan salinitas tinggi), dan kebocoran limbah industri. Bahkan tak jarang sumur penduduk tercemari oleh bakteri E. Coli dari kotoran manusia akibat adanya kebocoran septic tank.  Kebutuhan akan air semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan ragam kebutuhan yang menuntut sumber daya air dalam jumlah banyak, baik untuk rumah tangga, irigasi, penggelontoran, energi, rekreasi dan aspek kehidupan lainnya.
Pemanfaatan air secara efisien dengan mempertimbangkan kebutuhan yang rasional dan pasokan yang makin terbatas perlu dilakukan. Setiap pengguna air harus melakukan upaya konservasi air dan ini perlu dituangkan dalam peraturan perundangan yang mengikat dan dilaksanakan secara konsisten. Pemerintah perlu memfasilitasi pengguna air dalam melaksanakan konservasi air. Penerapan inovasi teknologi panen air dan konservasi air seperti embung, dam parit, sumur resapan, dan rorak perlu dilakukan. Proporsi penggunaan air untuk setiap sektor perlu ditetapkan melalui analisis kebutuhan air setiap sektor, identifikasi potensi sumber daya air permukaan dan bawah permukaan, serta curah hujan efektif dalam pengisian air bawah permukaan.
Kebutuhan air untuk keperluan rumah tangga di antaranya adalah untuk aktivitas-aktivitas manusia, seperti memasak, minum, mandi, mencuci, dan sanitasi. Kesemuanya membutuhkan air yang bersih, apalagi untuk dimasak dan diminum.
LOCAL WISDOM YANG DILAKUKAN
UNTUK MENGATASI MASALAH PENGGUNAAN AIR
Terkadang tanpa disadari kita telah melakukan suatu hal yang sangat bermanfaat dalam menjaga dan mengatasi kualitas air, karena hal itu memang sudah biasa dilakukan secara turun-temurun di suatu daerah, hal inilah yang disebut dengan local wisdom  atau kebijaksanaan lokal. Ada beberapa hal yang termasuk local wisdom terkait dengan permasalahan penggunaan air untuk kehidupan sehari-hari.
Contohnya saja dengan membuat parit-parit kecil dan dam, untuk menampung air hujan, dan air-air yang berasal dari sungai-sungai kecil. Air dam ini dapat dimanfaatkan untuk mengairi persawahan dan pertanian penduduk. Dengan adanya sistem irigasi yang baik, bukan hanya akan memenuhi kebutuhan air untuk pertanian namun juga menjaga kuantitas air untuk kebutuhan lain. Dengan adanya air yang mengalir di dam, menjadi indikasi bahwa air sumurpun pasti juga ada dan belum mengering.
Orang-orang di pedesaan juga biasanya akan menampung air dari sumur selama semalam, sebenarnya tujuan utamanya adalah guna persiapan di keesokan pagi harinya. Namun, ternyata dengan mendiamkan air itu sama dengan melakukan proses pengendapan zat-zat lain yang tidak berguna.
Pernah saya jumpai, di suatu daerah, tepatnya daerah Semarang, keran air di tiap rumah itu diberikan semacam kantong dari kain berwarna putih, namun dasar kantong terlihat berwarna agak kekuning-kuningan. Hal ini bisa dipahami karena adanya unsur logam seperti besi yang terkandung dalam airnya. Maka dari itu mereka berusaha untuk menyaring kotoran itu dengan kain agar airnya bisa agak bersih. Walaupun sebenarnya cara ini belum membersihkan kandungan semuanya.
Dulu, sewaktu rumah saya belum menggunakan air PAM, masih air sumur, ayah saya memasukkan satu atau dua ikan mas ke dalam sumur. Ini dikarenakan terkadang ada jentik-jentik nyamuk atau kotoran-kotoran lain, yang diharapkan ikan akan memakannya. Di bak kamar mandi pun demikian, diberikan satu ikan mas koki. Hasilnya, air bak kamar mandi jarang kotor. Meskipun demikian, secara periodik, air dalam bak mandi harus dikuras dan bak mandi harus dibersihkan (karena ada kotoran ikan).


UPAYA YANG TELAH SAYA LAKUKAN
DALAM MENJAGA KUALITAS AIR
Sebelumnya, saya tidak pernah menyadari bahwa saya pernah melakukan kegiatan yang menjaga kualitas air, namun setelah agak berfikir mendalam ternyata ada beberapa kegiatan penjagaan kualitas air yang pernah saya lakukan, meskipun tidak di daerah tempat saya tinggal. Karena pada dasarnya, tempat tinggal saya yang terletak di Desa Borobudur kabupaten Magelang mempunyai kualitas air yang sudah baik ditinjau dari kriteria air bersih layak minum dari departemen kesehatan, yaitu tidak berasa, tidak berbau, tidak berwarna, tidak tercemar bakteri dan tidak mengandung logam berat.
1.      Pengendapan dan Penyaringan Air
Upaya penjagaan kualitas air saya lakukan di daerah tempat tinggal nenek saya, di daerah kecamatan Salaman, masih termasuk dekat dengan area pegunungan. Daerah tempat tinggal nenek saya ini bisa dibilang masih belum banyak tercemar, dilihat dari banyaknya pohon hijau terhampar, dan masih banyaknya area tanah yang tidak tertutup paving,  sehingga memungkinkan sirkulasi resapan air akan bagus. Kebanyakan dari penduduk yang  masih tradisional juga menggunakan sumur dengan mekanisme timba, dan hanya beberapa yang menggunakan pompa air, termasuk nenek saya. Kontradiksi dengan area yang belum tercemar ini, faktanya air sumur baik dari hasil pompa air ataupun menimba manual, rata-rata warnanya sama, agak keruh. Sangat berbeda sekali dengan di daerah tempat tinggal saya yang jernih. Tapi herannya, penduduk desa juga sudah terbiasa menggunakan air itu, baik untuk minum, memasak, mencuci dan keperluan lainnya. Berbeda dengan saya, terkadang saya merasa tidak bernafsu minum, apalagi makan, apabila sedang di sana, membayangkan air yang digunakan.
Sewaktu saya masih kecil, sebenarnya tidak ada masalah dengan air yang terlihat kotor itu, namun setelah saya sekolah, dan mendapat pelajaran IPA waktu SD dulu, yang pernah dikenalkan tentang kriteria air layak minum, entah kenapa langsung terbayang air di daerah tempat tinggal nenek saya. Saya pikir dulu, air itu berwarna agak coklat karena memang daerah itu tanahnya sedikit berjenis tanah liat. Lalu saya mencoba menimba satu ember, dan saya endapkan semalaman, keesokan paginya, ait di ember sudah lumayan jernih, dan dihasilkan endapan mirip tanah di bagian dasar ember. Kemudian, saya memberitahu ibu bibi saya, dan dia mulai menerapkannya, yaitu menimba dan menampung air terlebih dahulu sebelum digunakan. Kebiasaan ini pun kemudian lambat laun terlihat tidak cuma di rumah nenek. Hal yang dilakukan ini, dapat dikatakan sebagai mekanisme pengendapan atau penyaringan yang bertujuan untuk memisahkan air baku dari zat-zat, seperti sampah, dan endapan tanah.
Sebatas itu yang saya lakukan waktu SD. Beranjak SMA, saya mulai lebih mengenal pelajaran IPA dan semakin banyak ilmu yang membuat saya tertarik. Contohnya pada filtrasi air atau penyaringan air. Ini berawal dari jambore dan Lomba Tingkat Pramuka yang salah satu kriteria yang harus bisa adalah upaya penjernihan air dengan metode filtrasi. Kemudian, saya juga kembali percobaan di derah tempat tinggal nenek saya. dengan menggunakan alat dan bahan sederhana, yaitu toples krupuk yang saya curi dari dapur nenek, sapu ijuk (baru), kerikil, pasir kasar dan pasir halus, kapas dan arang (dari dapur nenek juga). Yang kemudian dirangkai sedemikian sehingga berlapir-lapis.
2.      Menjaga Kejernihan Air Kolam dengan Tanaman Air
Jaman-jaman kelas 2 SMA dulu saya sering main ke daerah Ngrajek, rumah teman saya. Ngrajek adalah daerah dengan pasokan air yang sangat melimpah. Di sana tidak ada pembayaran untuk air. Bahkan di setiap rumah memiliki kolam ikan, ada yang digunakan untuk pribadi dan ada yang untuk budidaya dan diperdagangkan. Teman saya ini mempunyai kolam ikan, ada yang di rumah, untuk hiasan, dan di daerah persawahan dekat desanya.
Awalnya tak berniat untuk menjaga kualitas air, hanya ingin membuat kolam terlihat nampak indah, kami menambahkan eceng gondok dan teratai di kolam ikan dan persawahan dekat rumah teman saya, di daerah Ngrajek, Mungkid Kabupaten Magelang. Namun  ternyata setelah searching di internet, iseng-iseng tentang kegunaan eceng gondok, walhasil kami menemukan artikel tentang pemanfaatan tanaman air sebagai sistem biofilter atau filter biologi yang efektif untuk menjaga kualitas air. Kalau dipikir-pikir, teknologi ini sangat efisien, selain ekonomis (barangnya mudah didapat dan gampang berkembang), mudah dirawat, dan pastinya akan ramah lingkungan, tentunya selama jumlahnya masih terkontrol sehingga tidak sampai terjadi eutrofikasi.
Ternyata, tanaman air ini terbukti dapat menyerap zat racun yang dikeluarkan dari kotoran dan urine ikan. Tapi tidak menutup kemungkinan, zay racun juga bisa berasal dari logam berat dan bahan-bahan polutan lainnya. Hal ini dikarenakan tanaman air sangat efektif mengontrol pertumbuhan lumut yang dapat menyerap zat hara untuk ikan secara maksimal.selain itu tanaman air juga meningkatkan kadar oksigen dalam air (DO) melalui proses fotosintesis.
Selain bermanfaat dalam membantu menjernihkan air kolam, tanaman eceng gondok yang berbunga juga bisa menjadi elemen penghias untuk mempercantik pemandangan kolam.
3.      Tercemar Limbah, di Tempuran
Ibu saya bekerja di salah satu pabrik tekstil di daerah tempuran, kabupaten Magelang. Tempuran, adalah pusat pabrik tekstil di Magelang. Ada kurang lebih 3 pabrik tekstil besar, seperti Djohartex, Pandatex dan Usmantex. Pabrik-pabrik ini melingkupi satu daerah dan letaknya hampir berjejeran. Yang namanya pabrik, berbahaya atau tidak pasti juga akan menghasilkan limbah. Dan limbah, walaupun tadinya tidak berbahaya, akan menjadi berbahaya saat akumulasinya melebihi dari jumlah normal.
Keluhan-keluhan dari beberapa teman ibu yang tinggal di dekat area pabrik itu adalah sumur semakin dalam. Ini berarti jumlah air semakin sedikit. Faktornya bisa saja berkaitan dengan pabrik, atau memang karena musim.

Fenomena Halo (cincin pelangi matahari)

Today... (January, 4th 2011)
Tuesday, the fourth day after we have new year 2011, there is phenomenon like a circle rainbow around sun occured in the area of Jogjakarta's sky, tepatnya pukul 11 siang, fenomena ini bisa disaksikan tepat di atas langit Jogjakarta. Pertanda apakah ini??? mari kita telusuri lebih mendalam, sebenarnya apakah pelangi ini...Ternyata, usut punya usut, fenomena ini memang sudah sering terjadi, terlebih di daerah Eropa. Jadi InsyaAlloh bukanlah pertanda buruk, semoga saja malah pertanda baik. (haha..)
Sebenarnya apa sich??
Fenomena Pelangi Mengelilingi Matahari atau banyak yang menyebut dengan Halo Matahari di Jogja banyak dibahas di situs jejaring sosial Facebook. Fenomena yang disebut juga Cincin Matahari terjadi pada siang hari. Fenomena cincin halo matahari yang menghiasi langit kota Jogja ini sempat membuat masyarakat kota Jogjakarta heboh. Ada yang menyangka bahwa peristiwa tersebut pertanda akan terjadinya musibah. Apalagi, kita ketahui memang, pasca bencana meletusnya gunung Merapi, dan banjir lahar dingin yang melanda Magelang (daerah yang dekat dengan Jogja) sejak satu bulan ini.
Halo (ἅλως; disebut juga nimbus, icebow, atau Gloriole) adalah fenomena optikal berupa lingkaran cahaya, dan kadang-kadang pada sumber cahaya lain seperti lampu penerangan jalan. Ada berbagai macam halo, tapi umumnya halo muncul disebabkan oleh kristal es pada awan cirrus yang dingin yang berada 5–10 km diatas troposfer. Bentuk dan lokasi kristal es menentukan tipe halo apa yang akan terlihat. Cahaya yang dipantulkan pada kristal es dapat terpecah menjadi lebih dari satu warna, sama seperi pada pelangi. di sekitar matahari dan bulan
Bagaimana Fenomena Pelangi Mengelilingi Matahari ini bisa Terjadi.??

Fenomena alam Halo Matahari yaitu penampakan seperti terlihat cincin raksasa yang mengelilingi matahari. Terlihat pelangi cincin mengitari matahari. Halo matahari sendiri disebabkan karena adanya pembiasan cahaya matahari oleh kristal-kristal es yang terdapat di awan, dan pembiasan cahaya matahari inilah yang kemudian menjadi pelangi di sekeliling matahari yang tampak oleh mata manusia, dan kemudian disebut dengan halo matahari
Halo juga kadang-kadang dapat muncul di dekat permukaan bumi, ketika ada kristal es yang disebut debu berlian. Kejadian ini dapat terjadi pada cuaca yang sangat dingin, ketika kristal es terbentuk di dekat permukaan dan memantulkan cahaya.
Fenomena tersebut terjadi akibat refleksi dan refraksi cahaya matahari/bulan oleh kristal-kristal es yang terdapat di awan cirrus, awan yang terletak di tingkatan atmosfer yang disebut troposfer, sekitar 5-10 km dari permukaan bumi.
Pada umumnya halo melibatkan putaran radius 22° halo dan sundogs (Parhelia). Dalam gambar diatas, menunjukan matahari di kelilingi oleh 22° halo dan dilambungi (sisi) oleh sundogs. Parhelic circle adalah biasan cahaya kristal yang melepasi sundogs dan mengelilinginya. Kadangkala ia melapisi keseluruhan ruang langit dalam latitut yang sama dengan matahari. Pembinaan tangen ketinggian dan rendah (Upper Tangent arc and Lower Tangent arc) menyentuh secara terus dengan 22° halo sama ada di atas atau dibawah matahari. Pembuatan Lengkungan (Circumzenithal arc) akan terjadi di atas kristal tersebut.
Radius 22° gerhana matahari tidak kelihatan. Ia seperti helaian yang berlapis-lapis atau habuk pada permukaan awan cirrus yang nipis. Awan ini sejuk dan mengandungi ais kristal walaupun pada iklim yang sangat panas.

“Fenomena alam itu lumrah dan bisa terjadi di mana saja, seperti pelangi mengelilingi matahari atau bulan. Sama sekali tidak ada kaitannya dengan cuaca,” kata Susiana saat menghadiri Peringatan Hari Meteorologi Dunia ke-60 tahun 2010 di Lembang Kabupaten Bandung.
Ia menyebutkan, fenomena halo mungkin jarang terjadi di daerah tropis, namun di belahan bumi Eropa fenomena itu sering terjadi.
Halo, selain terjadi dalam bentuk lingkaran penuh dengan bagian pinggit berbingkai warna pelangi, juga bisa terjadi dalam lingkaran separuh dengan pusat pada cahaya matahari.
Susiana menyebutkan, bila ingin melihat halo, kedua mata harus dilindungi dari pancaran sinar matahari.
“Jangan sesekali terlalu lama memandang halo, kalau perlu memakai kacamata hitam atau tiga dimensi, hindari kilauan pada kaca atau cermin,” katanya.
Khusus bagi mereka yang hendak mengambil foto dengan menggunakan kamera single lens reflex (SLR), sebaiknya tidak langsung membidik melalui kotak bidik ke arah halo, karena cahaya matahari akan masuk ke dalam lensa fokus dan bisa merusak retina mata.
Dikutip melalui situs NASA, fenomena Halo terjadi karena saat musim sebagian partikel uap air naik ke atmosfer dan memiliki kemampuan untuk membiaskan cahaya yang dikeluarkan matahari. Fenomena ini hampir sama dengan proses pembentukan pelangi yang datang setelah hujan turun. Tidak heran jika kemudian lingkaran itu mengeluarkan cahaya warna-warni seperti pelangi dengan lingkaran gelap di sekeliling matahari akibat matahari berada tegak lurus dengan bumi.

Fenomena ini terjadi tidak terlalu lama. Hingga kini dikabarkan cincin yang mengitari matahari itu sudah menghilang dan pemandangan matahari kembali normal.
tapi kenapa bentuknya melingkar dan mengelilingi matahari??? Apa sama seperti proses pelangi yang biasanya hanya setengah lingkran????

Kenapa Bentuknya Melingkar, ya karena matahari bentuknya bulat...Sebagai Contoh : Kalau kamu punya senter di rumah, coba liat Cahaya Senternya..Kurang lebih seperti itu
dan untuk Pelangi, kalau di tanah, kita hanya melihat maksimal pelangi setengah lingkaran. Kalau kita berdiri di atas hujan, misalnya di pesawat terbang, maka kita bisa melihat pelangi satu lingkaran utuh. Ini semua disebabkan oleh geometri optik dalam proses penguraian warna (lebih lengkap lihat tentang sifat-sifat cahaya). Dengan geometri optik ini juga kita bisa menjelaskan garis lurus yang melewati mata kita dan Matahari juga melewati titik pusat lingkaran pelangi. Halo sangat besar. Ia selalu mempunyai diameter yang sama dalam posisinya di langit. Kadang-kadang hanya sebagian saja yang muncul. Semakin kecil cincin cahaya yang terbias muncul mengelilingi matahari atau bulan dihasilkan oleh corona dari lebih banyak titisan air daripada dibiaskan oleh ais kristal. Ia tidak mengaitkan bahwa hujan akan turun.

Must to be Remember!!

Apabila ingin MELIHAT halo pastikanKEDUA MATA anda DILINDUNGI dari pancaran MATAHARI. Jangan sesekali memandang terus dan lama pada halo. Sembunyikan matahari dari penglihatan di balik binaan, bangunan atau apa-apa sahaja. Berhati-hati apabila mengambil gambar halo tanpa pelindung matahari. Ia sangat BERBAHAYA untuk mengambil gambar terus terutamanya mengunakan kamera SLR. WIKIPEDIA

What is Biological oxygen demand and how does it affect water quality?

Chemicals…oxygen…demand…what do all these words mean and what does it have to do with your water? For a quick look into the world of biochemical oxygen demand just have a look below. Biochemical oxygen demand is a measure of the quantity of oxygen used by microorganisms (e.g., aerobic bacteria) in the oxidation of organic matter. Natural sources of organic matter include plant decay and leaf fall. However, plant growth and decay may be unnaturally accelerated when nutrients and sunlight are overly abundant due to human influence. Urban runoff carries pet wastes from streets and sidewalks; nutrients from lawn fertilizers; leaves, grass clippings, and paper from residential areas, which increase oxygen demand. Oxygen consumed in the decomposition process robs other aquatic organisms of the oxygen they need to live. Organisms that are more tolerant of lower dissolved oxygen levels may replace a diversity of natural water systems contain bacteria, which need oxygen (aerobic) to survive. Most of them feed on dead algae and other dead organisms and are part of the decomposition cycle. Algae and other producers in the water take up inorganic nutrients and use them in the process of building up their organic tissues.
Consumers like fish and other aquatic animals eat some of the producers, and the nutrients move up the food chain. When these organisms die, bacteria decompose the organic compounds and release into the water inorganic nutrients such as nitrate, phosphate, calcium, and others. Some of these nutrients end up down stream or in sediments, but most of them recycle again and again. Most of the bacteria in the aquatic water column are aerobic. That means that they use oxygen to perform their metabolic activities of decomposition. Remember that we learned in other related exercises that under normal conditions, dissolved oxygen exists in very low concentrations. Natural levels of oxygen in aquatic systems are always somewhat depleted by normal levels of aerobic bacterial activity. In most cases, if dissolved oxygen concentrations drop below 5 parts per million (ppm), fish will be unable to live for very long. All clean water species such as trout or salmon will die well above this level and even low oxygen fish such as catfish and carp will be at risk below 5 ppm.
When abnormally high levels of aerobic bacterial activity takes place, however, the level of dissolved oxygen can drop dramatically. Under what circumstances does this happen? Generally, this occurs when there is some sort of abnormal "pollution" introduced into the system. This can occur in the form of organic pollution for sources such as domestic sewage, septic tank leakage, and fertilizer runoff, or could be in the form of inorganics from domestic or industrial sources. Natural sources of organic compounds can also come into aquatic systems by means of floods, landslides, and erosion.
One of the most important nutrients, which affected BOD in aquatic systems in the recent past is phosphate pollution from American households. It was discovered decades ago that the addition of phosphorous to soaps and detergents made them clean better. By the 1960's, millions of households and businesses were dumping tons and tons of phosphate down the drain. Eventually, much of this important nutrient made its way to the watercourses of America. Because phosphorous is one of the most important limiting factors (necessary nutrients) in aquatic systems, there began numerous and widespread algal blooms. Algal blooms are dramatic population outbursts of growth in which often one or two species of algae suddenly find the conditions right for rapid growth.
Because most unicellular algae reproduce asexually by rapid cell division, it doesn't take long for a species of algae to suddenly and literally turn the water green with billions and billions of new cells. Because the conditions necessary to these algal blooms are sometimes temporary or because the algae exceed the threshold level of some other limiting factor, the blooms are only temporary. They often last only a few days. What happens when the bloom is over? The algal cells don't have enough nutrients and most of them die. At this point, the aerobic bacteria become important and start to decompose the algae. Because there is so much food for them, they also experience a sort of bloom, and they literally suck the oxygen out of the water. When the oxygen is gone, the bacteria and most other aerobic creatures in the aquatic system start to die.
During the 1960's and the 1970's, this phenomenon was widespread with dramatic fish kills and large segments of slow-moving rivers and lakes becoming almost abiotic (lifeless) because of high BOD caused by pollution. The procedures followed in this exercise involve the collection of water and the measurement of dissolved oxygen and pH at the time of the collection. The samples are placed in bottles full to the brim and sealed off by a lid. The sample bottles are covered completely with aluminum foil and placed in a dark place. This limits the photosynthesis, which could happen with captured algae. After five days, the bottles are uncorked and the dissolved oxygen is probed. The difference between the first and the last of the samples is called the BOD. A low number generally means little pollution and/or little aerobic activity. A high BOD means the opposite. 

source: http://www.freedrinkingwater.com/water_quality/quality1/1-bod-effects-on-water-quality.htm

StarLink Corn: What Happened

Humans and animals have consumed corn for centuries. Corn is one of the world’s most commonly eaten foods. It is no wonder the Aventis Cropscience genetically modified a corn to be resistant to pests.
Aventis Scientists incorporated Cry9C, a protein isolated from a common soil bacteria; Bacillus thuringiensis (Bt) sp. Tolworthi, into StarLink corn. The Cry9C protein is effective against caterpillars because it binds to different sites of the insect gut and destroys the stomach cells. This protein has no effect on other living creatures. StarLink corn was approved by the U.S. Environmental Protection Agency (EPA) for animal feed but not for human food until additional testing was completed.
The controversy began when traces of DNA from StarLink corn were found in taco shells and other corn related products. Although there are several varieties of Bt corns in the market, StarLink was illegal in human food. It was only approved for animal feed. The EPA Scientific Advisory panel considered the protein Cry9C a medium risk potential human allergen. This decision was based upon limited data. The protein was slow to digest, suggesting a possible concern, however the protein’s amino acid sequence was not similar to known allergens therefore the likelihood of allergencity is low. Furthermore, for people to become allergic to a protein they need to be exposed to it multiple times over an extended period of time. Since the Cry9C protein is only a small fraction of corn protein, the probability that the protein would sensitize an individual is low.
The FDA received approximately 34 reports of adverse reaction to corn products which may contain StarLink. Of the 34 reports, 20 were very unlikely a result of an allergenic reaction. The U.S. Center investigated 7 people who experienced symptoms that are consistent with an allergenic reaction. The people showed no reaction to the Cry9C protein. This does not mean people could not develop an allergic reaction in the future.
Aventis submitted a new evaluation of the corn to EPA and requested a temporary approval for human consumption. The new information demonstrated the consumption of corn based foods that contain StarLink would expose consumers to Cry9C many times smaller than needed to cause sensitivity. Subsequently, Aventis voluntarily withdrew registration for StarLink corn. It will no longer be grown.
As a result of this episode, the Aventis Company and others in the biotechnology industry will seek approvals for both human and animal consumption before marketing genetically enhanced seeds.
For more information on biotechnology visit www.whybiotech.com and www.ift.org.




source: http://ccr.ucdavis.edu/biot/new/StarLinkCorn_new.html
 

Soil formation



One of the most important scientific discoveries was how soil forms spontaneously from rock. Under the influence of physical factors like deformation by heat and cold, assault by wind, rain, hail and ice, and the enormous levering forces of water expanding into ice, solid rock is shattered into smaller pieces (see picture). But however small these fragments, they still have the same properties as the parent rock.
Being formed under high pressure and temperatures, the crystals of the minerals in the rock are somewhat unstable at surface pressure and temperature. Particularly when attacked by acids that etch away the soluble components in the minerals, the crystals fall apart, albeit very slowly. It is called spontaneous weathering, but it is accelerated considerably under the influence of vegetation and its acids (chemical weathering).
During the weathering process, four components are released:
  • minerals in solution (cations and anions), the basis of plant nutrition.
  • oxides of iron and alumina (sesquioxides Al2O3, Fe2O3).
  • various forms of silica (silicon-oxide compounds).
  • stable wastes as very fine silt (mostly fine quartz) and coarser quartz (sand). These have no nutritious value for plants.

Factors in soil formation:


  • parent material




  • time




  • climate




  • atmospheric composition




  • topography




  • organisms




  • Depending on temperature and rainfall, new minerals are formed. The oxides of iron and alumina combine with silica to form clay. In temperate regions a three-layer clay is formed, which is weak, swells under moisture, and clogs. It is able to absorb large amounts of water but is rather heavy on plant roots, blocking the oxygen the soil organisms need. Because clay has a charged surface area, it is able to bind and retain minerals and nutrients (Cation Exchange Capacity). The valuable nutrition for plants won't leach away easily in three-layer clays.
    Two-layer clays are formed in hot, humid tropical regions, producing arable but easily dried soils. These clays are not able to hold much water, or nutrients, but are still very much better than sand.


    Soil's productivity is mainly due to the clays in the soils. Knowing that clay particles are very small (less than 2 microns), one can imagine that this component is easily eroded out of the soil. Its small size prevents it from sedimenting out rapidly in water, resulting in rivers, lakes and ocean water staying turbid for a long time after rains have ended.
    The mix of sand, silt and clay is called a loam. In this diagram, the triangle represents all possible combinations of the three. Soil specialists use names for the various loams, as indicated in the diagram. A loam can be dried and pounded in the laboratory and passed through sieves to separate the mix by particle size. From the diagram, the official composition of 'loam' can be inferred - sand:silt:clay = 40:40:20. (Draw lines parallel to each side and read the left-hand values.)
    Sand is very workable but won't hold water, or nutrients well. Loam is poor in nutrients, reasonably workable, but holds water well. Clay is difficult to work, compacts easily, but holds water and nutrients well, but is reluctant to release these to plants. As the diagram shows, the various loams derived from the three base components, have varying workability, water holding capacity and cation exchange capacity (CEC).


    Not only temperature and moisture affect soil formation but also the level of the groundwater table and the steepness and elevation. As can be seen, soil formation depends on many factors, regional and local, resulting in an almost infinite number of different soils, each having different needs. Nutrients therefore, can vary considerably from patch to patch, requiring careful application and observation.


    Soil profile
    soil profilesWhereas soil is formed from the rock below, it is eroded away from the top. A cover of plant life slows down erosion, allowing the soil layer to build up, but there is more going on.
    Just above the base rock, is the C-horizon, containing the recently weathered and still weathering soil. It is rich in nutrients. The A-horizon is where most plant roots are found and all soil organisms. Its nutrients have been used by plants or leached downward, so it is relatively poor in nutrients, but rich in life. By comparison, the B-horizon is the zone where new material from below and nutrients from above accumulate. Sometimes an impermeable layer or pan is formed above it (podsol), denying plants to access this rejuvenating source of new nutrients. On the surface of the soil, often a thin layer is found, rich in leaf litter and other organic material.

    horizondescription of detailed soil horizons
    Oconsists mainly of organic matter from the vegetation, which accumulates under conditions of free aeration.
    Aeluvial (outwash) horizon consisting mainly of mineral matter mixed with some humified (decomposed) organic matter.
    Estrongly eluviated horizons having much less organic matter and/or iron and/or clay than the horizons underneath. Usually pale coloured and high in quartz.
    Billuvial (inwashed) horizon characterised by concentrations in clay, iron or organic matter. Some lime may accumulate, but if the accumulation is excessive, the horizon is named K.
    Khorizon containing appreciable carbonate, usually mainly lime or calcium carbonate.
    Ggleyed horizons which form under reducing (anoxic) conditions with impeded aeration, reflected in blueish, greenish or greyish colour.
    Cweathered parent material lacking the properties of the solum and resembling more the fresh parent material.
    Rregolith, the unconsolidated bedrock or parent material.
    Soil and top soil are produced naturally at a rate of  1mm in 200-400 years, averaging at about 1 ton/ha/y. A full soil profile develops in 2,000 - 10,000 years, a period which is long for humans but short for the planet. World-wide, agricultural soil is lost at a rate 10-40 times faster than its natural replacement. The USA lost 80mm since farming began, 200 years ago. This amounts to some 18 t/ha/y. China appears to lose 40 t/ha/y. World-wide loss of agricultural land is 6 million ha per year, from a world-wide total of 1200 million ha (0.5%/y). These are compelling reasons for improving the way humans manage their soils.

    source:

    http://www.seafriends.org.nz/enviro/soil/geosoil.htm

    Soil Identification & Removal

    Inert Soil

    Soil is any unwanted matter on the surface of an object that one desires to be clean. Cleanliness is an unnatural condition, because all surfaces are constantly being soiled. In order to clean a surface (substrate), it is, therefore, necessary to work against nature, and special care must be taken to ensure that all soil is removed and that it is not redeposited on the substrate. This section deals with classes of soils and the identification of them.
    Soil may be classified as visible and invisible, the latter category being primarily micro-organisms, such as bacteria, yeasts and moulds. Soil is best identified by characteristics that give information on how it may be solubilised, because the object of cleaning is to dissolve or to suspend soil and then to wash it away.
    Visible soil is classified according to its solubility characteristics — whether it is:
    • Soluble in water
    • Soluble in alkali
    • Soluble in acid
    • Soluble in surfactant solution
    • Insoluble in any of the above
    Soils, such as sugar, and some inorganic compounds like ordinary salt can be dissolved and washed away by ordinary water. In addition, the greater part of food soil can either by suspended in water or can simply be removed from a surface by the force of a water spray. Any soils not directly soluble in water will be left behind as a thin film or as a deposit.
    Some of these films and deposits are either solubilised or emulsified by alkaline detergent solutions. Natural fats and oils from plants and animals contain small amounts of free fatty acids. These acids are neutralised by alkaline solutions forming small amounts of soluble soap. This soap can then aid in the emulsification of the fats and oils that are present in many soils or films. Alkalis also react directly with plant and animal fats and oils to form soap, glycerine, and water by a process called saponification. Neutralisation is a much more important reaction than saponification in the removal of greasy films, however, because it is a fast reaction as compared to saponification.
    Contents

    Protein soils

    Protein soils from milk, eggs, meat etc., can also be solubilised by alkaline solutions. Proteins will hydrate and swell when they come into contact with water which helps alkalis to react with them, forming soluble salts. To a small degree the protein soils may also be broken down into smaller, more soluble molecules by a reaction with alkaline materials which is called peptization. This reaction is slow, however, and therefore, relatively unimportant.
    Contents

    Milkstone

    Milkstone, mineral deposits and other deposits formed by the reaction of minerals with organic substances often are deposited on surfaces where they are not wanted. This type of soil is sometimes very complex, but at least part of it will be solubilised by a reaction with acid. Even if only a part of the soil is removed in this manner, the remainder is often loosened during the reaction so that it is washed away. In those cases where part of the deposit is composed of fat, the acid can be followed by an alkaline wash.
    Contents

    Lubricating greases and oils

    Lubricating greases and oils are not solubilised by either acids or alkalis. They can sometimes be melted by hot water or steam but even then, a residue is often left behind. Surfactants help emulsify this material by breaking it up into small globules which are soluble in water or which can be suspended in water. Most dust and dirt contains some oily material which makes removal by this method possible.
    Contents

    Insolubles

    Those soils which are insoluble in water, in alkaline solutions, or in acid solutions usually do not cling to most surfaces anyway. Surfactants often allow the detergent solution to wet these soils so that they can be suspended in water or so that they can be flushed from the surface to be cleaned. Examples of such soils are sand, clay and fine metal particles. Charred or carbonised soil is more difficult to remove.
    During the processes in which water is removed from food and in pasteurisation and sterilisation heat is often applied in a manner that chars or carbonises some of the food. The chemistry is often complex, but in ordinary physical terms this is simply burned-on food. A 1% caustic solution applied at 180°F (82.2°C) with brushing will usually solubilise or suspend this type of soil.
    Contents

    Soil Identification

    Chemicals and basic directions for the identification of most soils....
    It is important (especially when one is not yet completely familiar with soil testing) to perform the tests in the order given here. This will eliminate unnecessary testing and also avoid incorrect soil identification.
    Contents

    Phenolphthalein

    Place a drop or two of phenolphthalein on the soil. If a pink colour appears, the soil is alkaline; if there is no colour change, the soil is neutral or acid. Most alkaline residues are caused by poor rinsing after washing with an alkaline detergent, but sometimes they are caused by alkaline water supplies. The latter case can easily be verified by checking the pH of the raw water. If it is over 9, the cause may very well be the water. The majority of food soils should be neutral or acid in nature.
    Contents

    Alkaline Soil

    The preceding test may have indicated alkalinity by turning phenolphthalein pink. This test will tell whether an alkaline soil can be removed completely by acid. Add a few drops of acid as indicated in the directions, allow to stand for at least two minutes, and then rinse with water. If the soil is completely removed from the spot, an acid product will remove the soil. If only part of the soil is removed, other treatment is required.
    Contents

    Acid Soil

    Add a few drops of caustic to the soil, allow to stand for at least two minutes, and rinse with water. If the soil has been removed, an alkaline product can be recommended. If only a part of the soil was removed, further testing and treatment is necessary.
    Contents

    Protein Soil

    Add a few drops of caustic and drop of two of Hi Tech Detergents XY-13 (Sodium Hypochlorite) to the soil. Allow to stand for at least two minutes and rinse with water. If this test removes soil that was only partially removed in the last test, a chlorinated alkaline cleaner is required.
    Contents

    Silica Film

    If the tests for alkaline, acid and protein soils do not remove the film or soil, then and only then should the test for silica film be run. Place a few drops of silica reagent on the soil and allow it to stand for at least two minutes before rinsing it off. If soil is removed that could not be removed by any other test, there is a possibility that there is a silica film. A special acid treatment is needed to remove it, but this treatment is dangerous and should never be used without the authorisation of your supervisor.
    The foregoing tests with their recommendations will help in solving many cleaning problems even if the approach to testing has been over simplified. The examples given here illustrate the manner in which these tests can be combined for the solution of some complex as well as some simple soil problems.
    Contents

    Example Results

    A series of tests have been run on a soil with the following results....
    PhenolphthaleinColourless
    AcidNo reaction
    CausticSome reaction after two minutes
    This indicates a neutral or acid type soil, such as fat, protein, or both. A longer test with caustic should be run to see if the soil can be completely removed or if further testing is required. Product selection should be made after that.
    In another example, the test results were as follows:
    PhenolphthaleinColourless
    AcidSlight reaction
    CausticRemoval of part soil. When tried on the same spot as the acid test, complete removal of soil.
    This indicates that there is fat, protein, or both in the soil as well as a slight mineral deposit. The way the tests were run indicates that an acid wash followed by an alkaline product would be effective in removing the soil. It may be possible to reverse the order for the same result.
    Quite often, a soil that is slowly, but completely removed by caustic alone will be removed much faster by caustic and chlorine. The technician must take time difference into account when choosing between an alkaline and a chlorinated alkaline product.
    A special note on the test for silica film is necessary here to avoid the unnecessary use of this special reagent.
    • silica film is quite rare.
    • this reagent will remove almost any soil.
    • this reagent is dangerous to handle — extremely so.
    Only if one is absolutely positive that no other means are available for the removal of a soil, should one request this chemical.
    Contents

    Table of Films and Deposits

    The soil chart which follows lists some common films and deposits, their causes, their removal and their prevention.
    A well designed cleaning system should have trouble-free operation as one of its goals, and if it is maintained properly, it should function for long periods of time without problems. However, any given system may have a flaw in it; part of the cleaning procedure may be omitted at times; the equipment may break down; the water supply may change; etc. Any of these "errors" or changes may lead to the formation of a film or a deposit. The table lists and describes some films and deposits, their probable causes, and some methods for their removal. The prevention of further problems will be obtained by adhering to proper cleaning and maintenance procedures.
    Film or Deposit IdentificationDescriptionProbable CausesProcedure for Removal
    Protein FilmA blue or rainbow coloured film having a varnish-like appearance similar to dried apple sauce.Use of a non-chlorinated cleaner. Inadequate pre-rinse. Periodic instead of regular cleaning.Make a paste with equal parts of chlorinated cleaner, alkaline cleaner and water, and apply this to the soil. Allow to soak and then wash with water.
    Fat, Grease, or Oil FilmA greasy, oily, sometimes white film on which water forms into beads.Use of an acid product for washing. Low wash temperature. Oil from equipment.Wash with hot, alkaline surfactant solution.
    Factory SoilA black and/or greasy film.Oil and dirt from the manufacturing process. Grease or oil coating for protection during storage.Wash with hot, foamy, alkaline detergent solution. If rusty, wash with and acid product.
    Surfactant FilmA blue film.Poor rinsing.Wash with a hot detergent solution. Brushing may be necessary.
    Food Stabiliser FilmA white, sandy deposit.Adherence of food stabilisers from foods such as cheese, ice-cream, convenience foods, etc., when only alkaline cleaners are used.Wash with an acid solution.
    Rubber FilmBlack streaks or a film which may be sticky.Reaction of rubber with a chlorinated product or ageing of rubber.Wash with an acid solution and replace rubber parts that are sticky or that still have black streaks.
    Silica Film(very rare)A white or grey glaze.Silica from a water supply when there is poor rinsing or when mechanical cleaning is used where manual cleaning is specified.Clean with a special acid wash (This acid is very dangerous and cannot be used without the proper approval).
    Mineral DepositA white, grey or yellow deposit such as milkstone, beerstone, waterstone etc.Minerals in water settling out or reacting with substances in milk, beer, meat, fruit and then settling out.Wash with an acid product. In breweries a solution of EDTA in water is often used to remove beerstone.
    Iron DepositA red, brown or black deposit.High iron content in the water supply or iron from system components and a lack of iron removal equipment.Wash with an acid product or with a 5% citric acid solution.
    CorrosionA rusty or pitted surface.Migrating metal particles or excessive contact time with a sanitising rinse.Wash with an acid product and brushing to remove rust. Repolish and passivate pitted surface.
    CorrosionA black residue or deposit.Contact of two different metals such as two types of stainless steel. Chemical action of alkaline cleaner or aluminium.Wash with an acid product.
    CorrosionA blue to black film on stainless steel in high temperature equipment.Oxidation through foaming or aeration under conditions of high alkalinity and high temperature.Treat with potassium permanganate and phosphoric acid
    EtchingPitting, usually with a white deposit on the pits.Use of improper chemicals or failure to use chemicals correctly.Repolish and passivate pitted surface.
    The conditions listed below pertain to plastic materials, usually tubing, that are ordinarily clear and colourless. All of them can be prevented or postponed by careful adherence to good cleaning procedures. However, all plastic must be replaced eventually.
    Opaque conditionPlastic is no longer clear and may appear white.Absorption of moisture due to poor drainage or a lack of drying.Expose to heat and light (sunlight). Forced air drying may be necessary.
    YellowingGradual formation of yellow discoloration.Ageing of plastic or improper use of an iodophor.Cannot be removed. Replace the plastic.
    Brown or Black FilmBrown or black deposit may appear as specs, steaks or film may appear suddenly or gradually.Migration of rubber particles or carbon particles from motors.Wash with acid solution. Replace the plastic if washing does not remove the film.
    Red StainBacterial pigment.Pigment from the organism Serratia marcescens.No procedure is known for the removal of this stain.
    Pink or Purple StainBacterial pigment.Pigment from the organism, Streptococcus rubrireticuli.Wash with a highly alkaline solution.