Brakk!
Ia mulai merebahkan tubuhnya ke tempat tidur. Berusaha mengendalikan amarah, yang bisa saja membuatnya merusak setiap apa yang ada di kamarnya itu. Mencoba mengintrospeksi diri, mengapa semua ini bisa terjadi. Sayangnya, sebelum ia bisa menemukan jawabannya, seseorang datang.
”Hei, Kak! Ayolah semangat! Jangan lemas begitu, ini bukan Kakakku…”
”Oh, kamu, Eno…, ada apa?”
”Ayolah, jangan pura-pura. Aku sudah tahu…”
”Soal itu…, aku kecewa. Aku memang nggak seperti kamu. Kamu sangat beruntung.” kata Edo dengan raut wajah yang seakan-akan mengatakan bahwa ketidakadilan ini harusnya tidak terjadi.
”Sudahlah, yang penting Kakak sudah mencoba dan mau berusaha.” hibur Eno sambil menepuk-nepuk pundak kakak kembarnya itu.
”Iya, tapi, kenapa? Ini sungguh tak adil!”
”Sejak awal, minat dan juga bakat Kakak memang bukan pada hal ini. Di bidang lain, Kakak sangat berbakat” hibur Eno lagi.
”Tapi, ayah ingin aku……” kata-kata Edo terpotong oleh suara ayahnya yang memanggil-manggil sang adik. ”Kamu dipanggil ayah. Sana, temui ayah!” katanya mencoba tegar. Ia tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Pemandangan yang sudah sangat biasa terjadi. Apalagi di liburan akhir semester seperti ini. Sampai-sampai ia sudah muak melihatnya. Ia lebih memilih menenggelamkan dirinya dalam alunan musik dari headset yang kini telah dipakainya, daripada mendengarkan berbagai pujian ayahnya yang ia tahu hanya ditujukan bagi adiknya seorang, setelah ibunya memejamkan mata dan meninggalkanya tiga tahun lalu.
Ia tahu, ayahnya sangat membanggakan Eno atas segala prestasi yang diraih sang adik selama ini. Berbeda dengannya, yang tak pernah meraih satupun prestasi yang bisa membuat ayahnya bangga dan memujinya. Walaupun begitu, ia selalu kompak dengan sang adik. Dan hal itu tak membuatnya putus asa untuk mencoba menjadi seperti apa yang ayah Edo inginkan.
Liburan-liburan terasa buruk baginya, tapi, sepertinya, inilah yang terburuk yang akan dirasakannya. Ia tak tahu apa reaksi ayahnya ketika tahu masalah yang saat ini sangat mengganggu pikirannya. ”Apa yang harus aku lakukan?” tanyanya pada dirinya sendiri.
Tak sampai beberapa menit, suasana itu menjadi tidak tenang lagi, setelah ia menyadari kedatangan ayahnya. Apalagi setelah ia tahu, buku rapor yang dibantingnya tadi siang telah berada di tangan ayahnya.
”Sudah Ayah bilang, kenapa kamu tidak juga mengerti!” bentaknya pada Edo .
”Ayah,…” kata-katanya terpotong oleh bentakan ayahnya lagi.
”Jangan bantah Ayah!”
”Tapi, Yah…”
Sepertinya, ayah Edo tak mau memberi kesempatan Edo untuk membela diri.
”Kenapa kamu tidak bisa menuruti kata-kata ayahmu!”
”Yah, aku sudah coba turutin semua kata-kata Ayah…”
”Kalau kamu sudah coba turutin Ayah, bagaimana bisa kamu masuk ke IPS!”
”Aku sudah berusaha, Yah…!” Edo mencoba membela dirinya.
”Usaha, kamu bilang? Apa ini yang kamu sebut berusaha!”
Degg! Edo sangat terkejut. Tanpa diduga, ayah Edo merebut gitarnya, dan membantingnya hingga gitar itu terbagi menjadi beberapa bagian. Edo tidak menyangka ayahnya akan setega itu merusak barang yang paling disayanginya. Edo tak sanggup lagi melihat keadaan gitarnya sekarang. Ia sudah berada di ambang batas kesabarannya. Segala rasa atas tekanan ayahnya selama ini serasa ingin diluapkannya. Bertahun tertumpuk, dan akhirnya meledak.
”Cukup, Ayah, cukup!”
Sang ayah hanya terkejut melihat tindakan Edo yang tak biasa ini.
”Ayah ingin Edo menuruti semua keinginan ayah! Tapi, apa ayah pernah peduli, atau mengerti saja apa yang Edo inginkan? Hah? Apa Ayah tahu!”
”Kamu…!” kata sang ayah dengan raut wajah sangat marah.
”Tidak sekali pun, kan?” sekarang Edo berbalik menyerang sang ayah, dan tak memberikan sedikitpun waktu pada ayahnya untuk berbicara. Ini pertama kalinya bagi Edo berbuat sangat tidak sopan seperti itu pada sang ayah. ”Ayah tahu karena apa?” Edo terdiam sejenak. ”Karena Ayah egois!” ia melontarkan sebuah kalimat tanpa berpikir bahwa suatu saat ia akan menyesalinya.
Dan benar, ia mulai beranjak dengan membawa sejuta rasa puas dan menyesal. Puas, karena ia bisa meluapkan kemarahannya. Dan menyesal, karena ia baru sadar, kata-katanya akan membuat hati sang ayah terluka.
Edo melewati hari-hari dengan rasa penyesalan yang masih menyelimuti setiap detik waktunya, sehingga membuat suasana rumah tak senyaman sebelumnya. Namun hatinya masih terlalu angkuh untuk mengucapkan kata maaf pada orang yang selama ini dihormatinya. Bukan aku yang salah, hatiku jauh lebih tertekan, batin Edo di sela-sela permainan drible-nya.
”Kak, sebaiknya Kakak minta maaf pada ayah.”
Eno sempat mengagetkannya. Namun, ia mencoba mengembalikan konsentrasinya pada bola yang ada di tangannya, dan tidak memperdulikan kata-kata sang adik. Malah sekarang, ia sudah bersiap untuk mengeshoot bola ke ring.
”Kak!” teriaknya pada Edo karena merasa diacuhkan.
”Diam!” wajahnya menunjukkan bahwa ia sedang tidak ingin diganggu. ”Minggir!” ia mencoba mengusir adiknya.
Mungkin ini bukan waktu yang tepat. Tapi, kapan lagi? Aku tidak bisa membiarkan semua ini terus berlangsung, batin Eno sambil berlalu meninggalkan kakaknya sendirian. Ia terus mencari cara untuk memperbaiki keadaan ini. Dilihatnya sang ayah sedang bersantai di sofa sambil melihat kakaknya bermain basket melalui kaca pintu di depannya. Perlahan ia mendekati sang ayah.
”Yah..., sedang apa?” tanya Eno mencoba berbasa-basi.
Kata-kata Eno membuyarkan lamunannya. Tapi ia segera tahu maksud Eno. ”Sudahlah, langsung saja. Mau bicara apa, No?”
”Hmm..., masalah kemarin...,” ia agak ragu mengatakannya.
”Kakakmu memang selalu melawan Ayah...”
”Tidak sepenuhnya salah kak Edo, Yah...” ia mencoba membela sang kakak di hadapan ayahnya.
Mereka berdua saling terdiam untuk beberapa saat.
”Ayah terlalu memaksakannya...” kata-kata itu tiba-tiba meluncur dari mulut Eno. Mungkin ini saatnya membuat ayah sadar, batin Eno tiba-tiba.
Suasana menjadi hening lagi. Hanya terdengar suara drible-an bola Edo dari luar. Sang ayah mungkin sedang mencoba memahami kata-kata Eno barusan.
Sekejap kemudian, terlintas sesuatu di benak Eno. ”Eno ingin menunjukkan sesuatu pada Ayah.” nadanya mulai terlihat serius. Eno mengajak ayahnya ke suatu ruangan yang sudah tidak asing lagi baginya.
Begitu banyak pertanyaan bersarang di benak ayah. Meskipun begitu, tetap ia ikuti langkah Eno, dan terus mencoba menebak-nebak apa yang akan ditunjukkan anak bungsunya itu kepadanya.
Sebuah foto keluarga menyambut kedatangan sang ayah dan Eno setelah ia membuka pintu kamar Edo, yang ternyata tidak terkunci. Hampir di setiap sisi terpasang foto keluarga. Semua tertata rapi.
”Mengapa kamu bawa Ayah kesini?” rasa penasaran membuat ayah Eno mengajukan pertanyaan yang dari tadi sempat membuatnya mengolah otak. ”Apa yang akan kamu tunjukkan?” sebelum Eno bicara, sebuah pertanyaan dilontarkan lagi padanya.
Eno tidak menjawab. Ia mengalihkan pandangannya, yang sebelumnya pada ayahnya, sekarang pada sebuah rak yang berada di sebelah lemari pakaian sang kakak. Hal itu sekaligus menjawab pertanyaan ayahnya.
Deretan piala dan penghargaan berjajar di sana. Dari piala kecil, hingga yang tingginya hampir satu meter tertata rapi. Sang ayah tersentak melihat semua itu, bagaimana bisa selama ini ia tak menyadari semua itu. Diperhatikannya satu per satu piala itu. Kebanyakan adalah piala dan penghargaan kejuaraan basket tingkat pelajar, sebagian lainnya adalah penghargaan di bidang musik. Dan yang paling membuatnya terkejut adalah penghargaan kompetisi MIPA SMP/MTs dalam rangka ulang tahun suatu Universitas di kotanya.
”Walaupun hanya penghargaan sebagai peserta, setidaknya Kak Edo telah mencoba.” jelasnya setelah menyadari pandangan sang ayah sedang tertuju pada piagam penghargaan itu. Ia mencoba menyadarkan ayahnya, betapa besar usaha kakaknya dalam mencapai apa yang ayahnya inginkan.
”Apa Ayah tahu? Kak Edo begitu berbakat dalam basket dan musik. Piala-piala itulah buktinya.” ia terdiam sejenak. ”Apa Ayah tahu? Demi Ayah, ia keluar dari band yang telah dibentuknya sejak SMP, sampai-sampai ia dimusuhi oleh teman-temannya.” lanjutnya.
”Apa Ayah juga tahu? Gitar yang Ayah rusakan itu didapatkan Kak Edo dengan susah payah. Hasil dari keringatnya mengikuti kompetisi basket. Dan begitu mudah Ayah merusaknya.” jelasnya sambil menunjuk gitar rusak yang ternyata masih Edo simpan. ”Tidak akan bisa terganti, meski dengan gitar termahal di kota ini.” ucapnya dengan penuh keyakinan.
”Dan...” ia mencoba menarik nafas sebelum meneruskan kata-katanya. ”Dan apa Ayah sadar! Betapa Kak Edo sangat menghormati Ayah. Sehingga ia sangat menyesal sesaat ketika membentak Ayah!” nada bicaranya sudah meninggi. Eno tersenyum kecut. Tanpa disadarinya, ia telah terbawa emosi, dan membuat ayahnya semakin terpojok. ”Sayangnya, Ayah tak pernah menyadari semua itu!”
Lama mereka terdiam. Sang ayah tak sanggup berkata sepatah kata pun. Hanya untuk mengucap kata ya saja, ia tak pantas. Karena memang ia tak menyadari semua itu. Semua pertanyaan yang bertubi-tubi dilontarkan padanya, belum lagi rasa terkejutnya atas apa yang baru saja ditunjukkan Eno, membuatnya tak berdaya di hadapan anak bungsunya sendiri. Ia tak menyangka anaknya, Eno, yang belum genap berumur tujuh belas tahun itu, bisa membuatnya malu terhadap dirinya sendiri. Mengingat dirinya adalah seorang ayah yang seharusnya menjadi teladan bagi anak-anaknya. Sungguh kenyataan yang memalukan.
Melihat sang ayah yang terdiam, dan suasana yang kian menegang. Eno mencoba menghibur ayahnya. ”Eno tahu maksud Ayah baik, tapi, cara Ayah salah.” Ucapnya dengan nada yang mulai menurun.
”Ayah memang bukan ayah yang baik...” ia mencoba menahan butiran air mata yang kini telah memenuhi matanya. Ia tak ingin Eno melihatnya menangis. Ia tak mau menjadi lebih malu lagi.
”Bukan seperti itu maksud Eno, hanya saja, Ayah terlalu menekan Kak Edo. Biarkan Kak Edo menentukan pilihannya sendiri, Ayah cukup memberikan nasihat dan motivasi. Selama ini Ayah terlalu memaksakan kehendak Ayah padanya.” ucapnya dengan harapan ayahnya akan mengerti. ”Yang lalu biarkan berlalu... Semua ini juga bukan salah Ayah sepenuhnya. Kita hanyalah ayah dan anak yang tidak saling mengerti satu sama lain.” Eno mencoba memperbaiki keadaan.
”Ayah begitu beruntung mempunyai anak seperti kalian, rasanya kalian seperti sahabat bagi Ayah...”
”Bukankah ini gunanya mempunyai keluarga...”
Senyuman keduanya, mengakhiri suasana tegang yang sudah berlangsung lama sejak tadi.
Tetesan air mata membasahi pipi Edo, yang ternyata sudah sejak lima belas menit lalu berada di balik pintu, dan mendengarkan percakapan ayah dan adiknya. Rasa haru yang tak tertahan membuatnya merasa inilah saat terindah yang pernah ia rasakan. Ia mencoba mengusap-usap pipinya. Ia tak mau seorang pun tahu begitu rapuhnya dia dalam masalah ini. Awalnya memang bencana, namun, berakhir sempurna. Hah, memang hidup ini penuh kejutan, batinnya.
Edo mulai beranjak pergi dan mencoba menerka-nerka kejutan apa lagi yang akan menghiasi liburannya kali ini.
0 komentar:
Posting Komentar