Kepala Pusat Sumberdaya Manusia dan Lingkungan Universitas Indonesia Dr Setyo Sarwanto DEA mengutarakan hal itu kepada Pembaruan, Kamis pekan lalu, di Jakarta. Ia mengatakan, rata-rata pengelolaan limbah medis di rumah sakit belum dilakukan dengan benar. Limbah medis memerlukan pengelolaan khusus yang berbeda dengan limbah nonmedis. Yang termasuk limbah medis adalah limbah infeksius, limbah radiologi, limbah sitotoksis, dan limbah laboratorium.
Limbah infeksius misalnya jaringan tubuh yang terinfeksi kuman. Limbah jenis itu seharusnya dibakar, bukan dikubur, apalagi dibuang ke septic tank. Pasalnya, tangki pembuangan seperti itu di Indonesia sebagian besar tidak memenuhi syarat sebagai tempat pembuangan limbah. Ironisnya, malah sebagian besar limbah rumah sakit dibuang ke tangki pembuang-an seperti itu.
Septic tank yang benar, ujar Setyo, terdiri atas dua bidang. Pertama, sebagai penampung, dan kedua sebagai tempat penguraian limbah. Setelah limbah terurai, disalurkan melalui pipa ke tanah yang di dalamnya berisi pasir dan kerikil. Tujuannya agar aman terhadap lingkungan.
Kenyataannya, banyak tangki pembuangan sebagai tempat pembuangan limbah yang tidak memenuhi syarat. IHal itu akan menyebabkan pencemaran, khususnya pada air tanah yang banyak dipergunakan masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari. Setyo menyebutkan, buruknya pengelolaan limbah rumah sakit karena pengelolaan limbah belum menjadi syarat akreditasi rumah sakit. Sedangkan peraturan proses pembungkusan limbah padat yang diterbitkan Departemen Kesehatan pada 1992 pun sebagian besar tidak dijalankan dengan benar.
Bercampur
Berdasarkan peraturan itu, limbah nonmedis dibungkus dengan plastik berwarna hitam, sementara limbah medis dibungkus dengan plastik berwarna seperti kuning, merah. Tetapi, karena harga plastik pun mahal, sudah tidak ada lagi pembedaan kemasan limbah rumah sakit, sehingga limbah medis pun bercampur dengan limbah nonmedis. Limbah nonmedis diperlakukan sama dengan limbah padat lainnya. Artinya, dikelola Dinas Kesehatan dan dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) sampah seperti di Bantar Gebang Bekasi.
"Percampuran limbah itu membuat sering ditemukan limbah medis di TPA, seperti botol infus, jarum suntik. Bagi pemulung plastik limbah medis, itu dianggap bisa didaur ulang, sehingga mereka mengumpulkan alat suntik itu. Sedangkan hewan di sekitar itu, misalnya kucing memakan limbah medis yang mengandung berbagai kuman yang akan berisiko pada manusia bila kucing tersebut menggigit. Itu membuat masalah limbah medis semakin besar," katanya. Ia menjelaskan, untuk limbah medis yang infeksius, berupa cairan, seharusnya dibakar dengan insinerator yang benar. Artinya, insinerator menggunakan suhu lebih dari 1.200 derajat Celsius, dan dilengkapi dengan pengisap pencemar/gas berbahaya yang muncul dari hasil pembakaran.
Abu dari hasil pembakaran distabilkan agar unsur logam dalam bentuk partikel yang terdapat pada abu tidak menjadi bahan toksik/karsinogen. Dengan perkataan lain, limbah infeksius diberlakukan sebagai limbah bahahan berbahaya (B3). Ia mencontohkan, tumor yang sudah diangkat dari pasien hendaknya dibakar dengan insinerator.
"Bukan dibakar dengan pembakaran biasa," ia menegaskan. Tetapi, pengelolaan abu dari pembakaran insinerator baru dapat dilakukan satu perusahaan swasta yang berlokasi di Cileungsi. Kondisi itu membuat permasalahan pengelolaan limbah medis infeksius di daerah. Untuk limbah radiologi, ujarnya, dilakukan oleh Badan Tenaga Atom Nasional (Batan). Setyo juga menjelaskan, dari sekitar 107 rumah sakit di Jakarta, baru sekitar 10 rumah sakit yang mempunyai insinerator, dan itu pun tidak semuanya insinerator yang benar.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bersama Departemen Kesehatan pada 1997 pernah melakukan survei pengelolaan limbah di 88 rumah sakit di luar Kota Jakarta. Berdasarkan kriteria WHO, pengelolaan limbah rumah sakit yang baik bila persentase limbah medis 15 persen. Tetapi, di Indonesia mencapai 23,3 persen. Survei juga menemukan rumah sakit yang memisahkan limbah 80,7 persen, melakukan pewadahan 20,5 persen, pengangkutan 72,7 persen. Sedangkan pengelolaan limbah dengan insinerator untuk limbah infeksius 62 persen, limbah toksik 51,1 persen, limbah radioaktif di Batan 37 persen. (N-4)
Sumber:
http://www.suarapembaruan.com/News/2003/10/20/index.html
0 komentar:
Posting Komentar